Senyum Ayah sedang Sakit

(Re-Post) ” ..akhir-akhir ini sering kepikiran kepada Ayah, jauh sudah jarak memisahkan, tak mungkin sekejap bisa bertemu…” (terinspirasi oleh rindu kepada Ayah…sedang mencari sesuatu untuk dihadiahkan di masa pensiun Ayah) 

 Cerpen Yusrizal KW Dimuat di Media Indonesia 09/21/2003 

SEJAK pensiun jadi guru, ayah banyak berdiam diri. Ia tak pernah lagi tersenyum. Kadang aku berpikir nakal, jangan-jangan senyum ayah waktu masa pensiunnya tiba, tertinggal di dalam kelas. Kemudian murid-murid ayah menendang-nendangnya, atau piket pagi menyapunya dan membakar bersama sampah-sampah. “Apakah ayah sakit, atau ada yang tidak enak di rumah ini,” kudengar suatu hari ibu bertanya karena merasa tak enak melihat sikap ayah akhir-akhir ini tidak tersenyum. Ayah cuma menggeleng, lalu berkata, “Ada saatnya untuk tidak tersenyum….” Mungkin, sebagaimana kata ayah kepada ibu, inilah saatnya untuk tidak tersenyum. Padahal, oleh murid-muridnya, teman sesama guru, ayah dikenal guru paling murah senyum. Tapi, sekarang, begitu mahalnya senyum ayah. Saking mahalnya, sulit didapat. 

Mula-mula kami maklum melihat ayah mahal senyum. Tapi lama-kelamaan, kami menjadi gelisah. Bukannya menjadi terbiasa. Seakan-akan, dengan tidak pernah tersenyum, ayah menyiratkan kepada kami bahwa kehidupan sedang pahit. Atau, kami sedang membuat hatinya sedih dan kecewa. Karena itulah, kadang aku ingin bicara dari hati ke hati dengan ayah, mengatakan bahwa aku, juga adikku Elina dan ibu, butuh senyum ayah. Ternyata niatku itu, suatu hari kudengar disampaikan oleh Elina adik bungsuku. Diam-diam kulihat Elina menemui ayah di kamar, aku menguping di balik pintu. 

“Yah, Elina butuh senyum ayah. Elina mau ujian skripsi,” begitu antara lain ucapan adikku yang mahasiswa itu. Kami empat bersaudara, dua kakakku sudah berkeluarga dan mereka menetap di kota lain bersama suami dan anak mereka. Hanya aku satu-satunya anak laki-laki ayah, yang mestinya usia tiga puluhan ini sudah memiliki pekerjaan tetap. “Kau tak usah risau. Pakai saja senyum ibumu,” demikian jawab ayah. Oh. Begitu gamblangnyakah ayah memahami hati Elina, hati kami semua. Di manakah sifat arif bijaksana ayah kami yang guru selama ini terpapar indah. Dengan derai air mata, Elina keluar. Sebelum tangannya meraih gagang pintu, ayah memanggil, “Elin, tunggu. Senyum itu kehidupan, Nak. Ada kalanya ia sedang sehat. Dan pada saat ini, senyum ayah sedang sakit. Ayah gagal merawatnya dengan baik!” Aku tercenung memahami makna kata ayah di balik pintu. Sebelum Elina membuka pintu kamar ayah yang sengaja ditutupnya dari dalam, aku cepat beranjak. Kurekam baik-baik kata ayah soal senyum. Mungkinkah senyum ayah sedang sakit? 

*** 

“Senyum ayah sedang sakit, Bu. Bagaimana caranya kita menyembuhkan senyum ayah!” kataku kepada ibu yang sedang merajut sulaman benang wolnya. Ibu menghentikan sejenak kegiatan menyulamnya. Ia menatapku dengan sedikit mengernyitkan kening. “Maksudmu?” Aku menarik napas. Kurasakan kegelisahan yang asing dan misteri. “Ayah mengatakan begitu!” tegasku. Ibu hanya diam, kemudian melanjutkan menyulam. Kubaca raut ibu, menyimpan gelisah. Sejak saat itu, aku merasakan senyum ayah sakit menular ke ibu. Ibu pun sejak kukatakan senyum ayah sedang sakit, ia terlihat menua. Sebagaimana ayah, ibu pun tidak terlihat lagi tersenyum. Akibatnya, aku dan adikku tidak bisa tersenyum. “Kenapa ibu tidak pernah tersenyum lagi? Ibu segan pada ayah?” suara berat Elina menggemuruh di hatiku. Kurasakan suara Elina kepada ibu sedang menyembelih senyumnya sendiri yang tersimpan di lubuk hatinya. Kurasakan senyum Elina bagai sedang merintih untuk kemudian sakit sebagaimana senyum ayah yang sakit. “Bagaimana bisa tersenyum, kalau senyum ayahmu belum pulih,” begitu kata ibu. Ah, ibu. Apakah ini bentuk lain kesetiaan seorang istri pada suaminya. Apakah ini dikatakan sakit sama dirasa. Apakah hal ini termasuk realistis. Semak akalku dibuatnya. 

*** 

Hari-hari menjadi tidak menarik untuk dilalui. Kurasakan, ayah mungkin tidak siap menghadapi masa pensiunnya. Mungkin, sebagai guru, ia merasa masih perlu untuk ke sekolah, mendidik, mengajar, melihat tingkah polah yang beragam sembari setiap hari mendengar dentangan lonceng. Setiap berhadapan dengan ayah, hanya raut wajahnya yang menua, rahangnya yang terlihat menegang, mungkin karena jarang tersenyum. Tapi, entahlah. Yang pasti, wajah ayah menmbuatku gelisah, meresahkan adik perempuanku. “Ayah, apa yang harus kulakukan agar ayah bisa tersenyum,” kataku di meja makan. Ayah menarik napas, kemudian menyalakan rokoknya. Setelah batuk kecil, ia mengangguk-angguk. Dari sorot matanya kutangkap bahwa ayah sedang berpikir keras. “Aku ingin ayah tersenyum. Katakanlah, apa yang mesti aku lakukan bersama Elina,” ulangku lagi. “Pada saatnya nanti, aku bisa melakukannya sendiri!” “Sampai kapan, Ayah?” “Sampai ayah mampu!” “Tidakkah ayah tahu, ibu tertular penyakit yang sama dari Ayah!” “Itu karena ibumu lemah!” Jawaban ayah membuatku ingin meninggalkannya dengan kasar. Tak kutemukakan lagi jawaban-jawaban ayah yang menyejukkan, dengan garis bibir melengkung ke atas, serta berakhir dengan tatapan hangat. 

*** 

“Besok ayah ulang tahun,” kata adikku. “Mudah-mudahan senyumnya sembuh. Usianya berarti 61 tahun besok!” “Bagaimana kalau kita buat perayaan khusus, atau kita membelikan kado untuk ayah.” “Ide yang bagus. Selama ini kita tak pernah merayakan dan mengucapkan selamat ulang tahun kepada ayah. Inilah saatnya yang tepat untuk mengucapkannya, semoga tersenyum.” Akhirnya kuputuskan hanya membelikan kado untuk ayah berupa sarung, baju koko, dan peci untuk ayah salat Jumat. Pagi-pagi sekali, kami berdua mengetuk pintu kamar ayah dan ibu. Tapi, tak ada jawaban. Ketika kudorong, pintu ternganga, kamar kosong. Ke mana ayah. Ke mana ibu? Kami saling pandang. Kulihat mata Elina yang penuh harap, berkabut. Hatinya dan hatiku sama-sama gelisah. Padahal, sebelumnya, bahkan sampai terbawa mimpi, pagi ini mestinya awal pagi yang indah karena kami mampu menyembuhkan senyum ayah yang katanya sedang sakit. “Mungkin ayah membawa ibu jalan pagi. Selepas salat subuh, barangkali mereka jalan berdua. Siapa tahu, udara pagi bisa memulihkan senyum mereka,” kataku pada Elina. Adikku mengangguk. Isyarat mata Elina mengajakku melihat keluar. Ketika aku hendak membuka pintu depan yang merupakan ambang ke teras, samar-samar dari balik kaca kulihat ayah sedang duduk di bangku-bangku pekarangan yang pernah dibuat ayah di bawah pohon jambu. Kulihat ayah membiarkan ibu merebahkan kepalanya di dadanya. Gerakan tangan ayah dari belakang seperti sedang membelai-belai kepala ibu yang telah beruban. Aku dan Elina terpelongo sesaat. Kemudian kami urungkan menguakkan pintu. Diam-diam kami intip dari balik kaca nako yang sebagian gordennya telah disibakkan. Apa yang tengah terjadi. Menjeput masa lalukah. Atau, mereka berdua sedang saling mengobati senyum yang hilang. Dalam hati aku berdoa, semoga di usia ke-61 ini ayah merasa hidup kembali dengan senyum usia barunya. Sesaat kemudian, ayah berdiri, diikuti ibu. Kini, pasangan tua itu berdiri berhadap-hadapan. Tak lama, kulihat ibu dipeluk ayah. Setelah merenggang, ayah mengangkat tangannya ke wajah ibu, telunjuknya menghapus air mata di puncak hidung ibu. Elina memegang tanganku, terasa dingin. Kutahan napas, menunggu kejadian berikutnya. Tak tahu apa yang dikatakan ayah, yang tampak, ibu setelah itu menunduk. 

***
 
Kado yang telah kami bungkus berdua, akhirnya disimpan dulu. Tak ingin mengganggu keberduaan mereka yang tengah kehilangan senyum. Setelah hari agak terang, matahari segera kan terbit, ayah duduk di kursi beranda. Ibu masuk ke dalam, membuatkan teh. Yang jadi pertanyaan, kenapa belum juga tampak ada senyum. Atau, keberduaan mereka tadi memperteguh senyum menjadi tak penting asal cinta tetap utuh. Ah. Diam-diam, saat ibu membawakan teh dari dapur ke teras rumah, aku dan Elina membuntuti sambil membawa kado. Setelah teh diletakkan di atas meja kecil, aku pun serta merta mencium ayah. “Selamat ulang tahun, Ayah!” Lalu Elina mengikuti sembari memberikan kado dari kami. Kulihat mata ayah berkaca-kaca. Elina terisak. Aku merakasan hal sama. Tetapi, apa yang kuharapkan, tak terjadi. Ayah cuma berkata, “Terima kasih anak-anakku tercinta. Kalian penuh perhatian dan rasa sayang yang dalam…. ” Oh, hanya itukah, Tuhan. Mana senyumnya. Kuharap, ucapan selamat ulang tahun ini berbalas senyum kebahagiaan. Ingin kuminta senyum untuk pagi ini saja kepada ayah, juga ibu, tapi bibirku terlanjur kelu dengan sambutan ayah barusan. Elina pelan-pelan masuk, aku membuntuti. Kulihat Elina ke kamarnya, kuturuti ia. Tapi, Elina telah lebih dulu membenamkan wajahnya. Ia sesungukkan. Dadaku tiba-tiba terasa berat. Ingin rasanya aku marah kepada ayah, juga ibu. Ingin rasanya kumaki ayah, kubentak-bentak, tapi semua itu justru harapan yang menunjukkan ketakberdayaan. Inilah buah rasa cinta dan sayang pada ayah dan ibu, sehingga untuk mengungkapkan kepedihan hati pun jadi tak mampu kepadanya. 

*** 

“Ayahmu pensiun dengan kekecewaan,” kata Pak Jupri, kepala sekolah di tempat ayah pernah menjadi guru. Setelah kejadian pagi itu, aku pergi menemui kepala sekolah ayah semasa beliau belum pensiun. Maksudku aku ingin tahu hal terakhir yang menimpa ayah menjelang pensiunnya tiba dari pihak sekolah. Akhirnya dari Pak Jupri kuketahui pangkal senyum ayah menderita sakit. Semua di luar dugaanku, sulit kupahami kenapa begitu dahsyat pengaruhnya pada ayah, pada kehidupan kami semua di rumah. “Ayahmu terlalu memikirkan tugas yang terakhir kali diberikannya kepada anak-anak,” ungkap Pak Jupri. Setelah diceritakan panjang lebar, Pak Jupri memberikan lembaran tugas terakhir ayah kepada murid-muridnya. Soal dari tugas anak-anak itu, “Tuliskanlah cita-citamu berikut alasannya. ” Sebagaimana keterangan Pak Jupri, aku merasa miris juga membaca jawaban murid-muridnya. Dengan membayangkan mengelamnya wajah ayah, kubaca satu per satu jawaban dari perintah menuliskan cita-cita berikut alasannya itu. “Patut ayah bersedih. Wajar kiranya ia kehilangan senyum,” kataku lirih menatap Pak Jupri. “Itulah yang memprihatinkan ayahmu, juga kami para guru di sini,” tanggap Pak Jupri. Sepulang dari menemui Pak Jupri, aku menemui adikku Elina. “Jadi ayah bersedih karena dari perintah soal yang diberikannya itu tak seorang pun anak-anak yang bercita-cita jadi guru,” Elina bertanya nyaris tak percaya. “Ya. Bahkan, alasannya mereka, jadi guru itu susah. Gajinya juga kecil. Kalau tak ada pilihan lain, baru jadi guru. Umumnya, anak-anak bercita-cita jadi dokter,” terangku. “Lalu apa tanggapan Pak Jupri?” “Ia teramat sedih ketika menyadari anak-anaknya pun di rumah tak ada yang bercita-cita jadi guru, persis dengan kita anak ayah ini!” Elina terpaku, entah apa yang tertangkap oleh perasaannya. Dan, malamnya aku membawa kegelisahan ayah ke tempat tidur. Dalam tidur aku bermimpi, ayah tersenyum memandangku yang tengah bersiap-siap berangkat ke sekolah sebagai seorang guru sembari berkata, “Ayah bangga kau jadi guru, Nak!” 

*** 

Kado untuk para guru yang mulia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rencana Pagelaran Gondang Batak 2008 di Tobasa

Hidup dengan keikhlasan hati

Sibiru yang sesak-membuatku sesak juga